Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 13 September 2012

CONTOH MAKALAH BAHASA INDONESIA FKIP


MAKALAH

“SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBELUM SUMPAH PEMUDA”


Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Mata Kuliah Bahasa Indonesia oleh Ibu Maryati

















Disusun oleh :

KELOMPOK 1
Chairul Fauzi Rosidian
Andri Sumaki
Nopisa Triani
Ruli Ardiansyah




UNIVERSITAS SURYAKANCANA CIANJUR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
2008


KATA PENGANTAR


Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas perkenan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia Sebelum Sumpah Pemuda”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari apa yang dikatakan sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Walaupun demikian, penulis berharap bahwa makalah ini dapat diterima dan memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Tidak berlebihan apabila pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Dan tak lupa penulis menyampaikan banyak terimakasih serta seiring do’a atas segala amal baik dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memenuhi syarat dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.



Cianjur,  September 2008



Penulis
Kelompok 1”







DAFATAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… 1
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..   2
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..  3
BAB II PERMASALAHAN……………………………………………………………..  5
  1. Rumusan Masalah………………………………………………………………...    5
  2. Tujuan…………………………………………………………………………….    5
  3. Penyelesaian Masalah……………………………………………………………..   6
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………………            8
  1. Sumber Bahasa Indonesia…………………………………………………………   8
  2. Peresmian Bahasa Indonesia………………………………………………………   9
  3. Mengapa Bahasa Melayu diangkat Menjadi Bahasa Nasional Indonesia ?............    9
  4. Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia……………………………..    10
  5. Faktor Kesejahteraan………………………………………………………………  11
  6. Melihat Kelemahan………………………………………………………………..   13
  7. Menuju Bahasa Dunia……………………………………………………………..   14
  8. Bahasa Nasional…………………………………………………………………...   16
  9. Bahasa Negara…………………………………………………………………….   17
BAB IV KESIMPULAN………………………………………………………………….            18
BAB V PENUTUP……………………………………………………………………….. 19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..            20










BAB I
PENDAHULUAN

Bahasa Indonesia dijadikan mata kuliah umum (MKU) di setiap perguruan tinggi dengan tujuan agar para mahasiswa mimiliki sikap bahasa yang positif terhadap Indonesia. Sikap yang positif terhadap bahasa Indonesia diwujudkan dengan (1) kesetiaan bahasa, yang mendorong memelihara bahasa nasional dan, apabila perlu, mencegah adanya pengaruh bahasa asing, (2) kebanggaan bahasa, yang mendorong mahasiswa mengutamakan bahasanya, dan (3) kesadaran akan adanya norma bahasa, yang mendorong mahasiswa menggunakan bahasanya sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku.
            Salah satu masalah kebahasaan yang perumusan dan dasar penggarapannya perlu dicakup oleh kebijaksanaan nasional di dalam bidang kebahasaan adalah fungsi dan kedudukan bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Yang dimaksud dengan fungsi bahasa di dalam hubungan ini adalah nilai pemakaian bahasa yang dirumuskan sebagai tugas pemakaian bahasa itu di dalam kedudukan yang diberikan kepadanya (1) Lambang kebanggaan nasional, (2) Lambang identitas nasional, (3) Alat pemersatu bangsa (suku-suku), (4) Alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Yang dimaksud dengan kedudukan bahasa adalah status relative bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang dirumuskan atas dasar nilai sosial yang dihubungkan dengan bahasa yang bersangkutan. (1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, (2) Bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara.
            Mengapa fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia perlu di rumuskan ? Mengapa masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia perlu dicakup oleh kebijaksanaan bahasa nasional dalam arti kebijakan nasional mengenai kebebasan ? Jawaban atas kedua pertanyaan ini berhubungan erat dan isi-mengisi. Perumusan fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia pada satu pihak serta fungsi dan kedudukan bahasa-bahasa lain, baik bahasa-bahasa daerah yang hidup sebagai unsur kebudayaan kita maupun bahasa-bahasa asing yang dipakai di Indonesia. Kekaburan yang terdapat dalam pembedaan fungsi dan kedudukan antara bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain itu bukan saja merugikan bagi perkembangan dan pembakuan bahasa Indonesia tetapi juga dapat menyebabkan terjadinya kekacauan di dalam cara berfikir pada anak-anak kita.



Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan kekaburan pembedaan fungsi dan kedudukan itu adalah mengalirnya unsur-unsur bahasa yang pada dasarnya tidak diperlukan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Demikianlah terjadinya pembanjiran bahasa Indonesia oleh unsure-unsur yang tidak diperlukan dari bahasa-bahasa lain, terutama bahasa Inggris. Dengan mengalirnya unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia itu, pembakuan bahasa Indonesia menjadi jauh lebih rumit. Pembedaan fungsi dan kedudukan bahasa memungkinkan kita mengatur masuknya unsur-unsur baru dari bahasa-bahasa lain sedemikian rupa sehingga hanya unsur-unsur yang benar-benar dibutuhkan untuk memperkaya bahasa nasional kita sajalah yang kita terima. Menghilangkan unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia tidak mungkin dilakukan, oleh karenanya suatu kenyataan bahwa apabila dua bahasa atau lebih dipergunakan dalam masyarakat yang sama, maka terjadilah kontak bahasa, yang mau tidak mau mengakibatkan terjadinya hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi.
            Dengan demikian, yang perlu dilaksanakan adalah pengaturan hubungan timbal balik itu sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kepincangan di dalam perkembangan bahasa yang bersangkutan. Selain itu, masuknya unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia tidak perlu dihindarkan sama sekali, asal saja pemasukannya itu sesuai dengan keperluan di dalam usaha kita untuk mengembangkan dan membakukan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bahasa modern hendaklah bersifat terbuka dengan pengertian bahwa ia memberikan tempat bagi unsur-unsur baru yang diperlukannya yang tetap mempertahankan identitasnya.
            Masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia adalah salah satu diantara masalah kebahasaan yang kita hadapi. Ia merupakan satu bagian dari keseluruhan jaringan maalah kebahasaan kita itu. Oleh karena itu, kebijaksanaan bahasa nasional yang lengkap harus mencakup juga masalah fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia.
         







BAB II
PERMASALAHAN

  1. Rumusan Masalah
Identifikasi masalah adalah sebagai berikut :
  1. Kenapa Sumpah Pemuda dijadikan acuan sebagai awal mula resminya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa (bahasa nasional) ?
  2. Empat alasan awal mula bahasa Melayu berfungsi sebagai…. ?
  3. Empat alasan kenapa Bahasa Indonesia diadaptasi dari Bahasa Melayu ?
  4. Kenapa Bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa resmi di Negara Indonesia ?

  1. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :
  1. Ingin mengetahui kenapa Sumpah Pemuda dijadikan tolak ukur terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
  2. Ingin mengetahui awal mula adanya bahasa Melayu dan fungsinya
  3. Ingin mengetahui alasan kenapa bahasa Indonesia diadaptasi dari bahasa Melayu.
  4. Ingin mengetahui kanapa bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa resmi di Negara Indonesia.














C.  Penyelesaian Masalah
                  Adapun Penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut :
1.   Karena pada waktu itu Indonesia dituntut untuk dapat bersatu dalam mewujudkan tujuan yaitu kemerdekaan. Dan para pemuda pada saat itu membuat inisiatif untuk dapat mempersatukan bangsa Indonesia dalam melawan kolonial untuk dapat mencapai satu tujuan yaitu merdeka, perlu adanya persatuan dan kesatuan melihat kondisi seperti itu para Pemuda memancangkan tonggak yang kukuh yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dengan nama Sumpah Pemuda yang di ikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928 dimana salah satunya isinya adalah “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”. Tujuannya adalah untuk mempermudah komunikasi antar suku di Indonesia.

  1. Fungsi bahasa Melayu pada zaman dahulu adalah sebagai berikut :
I.                   Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.
II.                Bahasa perhubungan (lingua franca) antar suku di Indonesia.
III.             Bahasa perdagangan, terutama di sepanjang pantai, baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun bagi pedagang-pedagang dari luar Indonesia.
IV.             Bahasa resmi kerajaan.

  1. Mengapa bahasa Melayu yang dijadikan bahasa Nasional ? karena :
I..        Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan.
II.         Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa ini tidak dikenal dengan tingkat bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo) atau perbedaan bahasa kasar dan halus, ataupun seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes).
III.      Suku Jawa, suku Sunda, dan suku-suku yang lain di Indonesia dengan sukarela menerima bahasa Melayu bmenjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
IV.     Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayan dalam arti yang luas.


  1. Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda. Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia Tahun 1928 itu berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut :
Pertama :        Kami putra dan putrid Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua :           Kami putra dan putrid Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga :           Kami nputra putrid Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah Republik Indonesia sekarang adalah satu kesatuan tumpah darah (tanah kelahiran) yang disebut Tanah Air Indonesia.
Pernyataan yang kedua adalah pengakuan bahwa manusia-manusia yang menempati bumi Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia.
Pernyataan yang ketiga bukan merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Dengan demikian diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu yang sudah dipakai sejak pertengahan abad VII, sebagai bahasa Indonesia












BAB III
PEMBAHASAN

  1. Sumber Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang sejak dahulu sudah dipakai sebagai bahasa perantara (lingua franca), bukan saja di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Pertanyaan yang mungkin timbul adalah kapan sebenarnya bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai alat komunikasi. Berbagai batu bertulis (prasasti) kuno yang ditemukan, seperti (1) Prasasti Kedukan Bukit di Palembang tahun 683, (2) Prasasti Talang Tuo di Palembang tahun 684, (3) Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat tahun 686, yang bertulis Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
Prasasti-prasasti yang juga tertulis di dalam bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah (Prasasti Gandasuli tahun 832) dan di Bogor (Prasasti Bogor tahun 942). Kedua Prasasti di Pulau Jawa itu memperkuat pula dugaan kita bahwa bahasa Melayu Kuno pada waktu itu bukan saja dipakai di Pulau Sumatra, melainkan pula dipakai di Pulau Jawa.
Berikut ini dikutipkan sebagai bunyi batu bertulis (Prasasti) Kedukan Bukit di Palembang.
Swastie syrie syaka warsaatieta 605 ekadasyii syuklapaksa wulan waisyakha dapunta hyang naayik di saamwan mangalap siddhayartra di saptamie syuklapaksa wulan
jyestha dapunta hyang marlapas dari minanga taamwan….

( Selamat! Pada tahun syaka 605 hari kesebelasan pada masa terang bulan Waisyaakha, tuan kita yang mulia naik di perahu menjemput Siddhayaatra.
Pada hari ketujuh, pada masa terang bulan Jyestha, tuan kita yang mulia berlepas dari Minanga Taamwan … )
Kalau kita perhatikan dengan seksama, ternyata dalam prasasti itu terdapat kata-kata (dicetak dengan huruf miring) yang masih kita kenal sekarang walaupun waktu sudah berlalu lebih dari 1.400 tahun.


  1. Peresmian Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia dengan perlahan-lahan, tetapi pasti berkembang dan tumbuh terus. Pada waktu akhir-akhir ini perkembangannya itu menjadi demikian pesat sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa modern yang kaya akan kosakata dan mantap dalam struktur.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda. Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia Tahun 1928 itu berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut :
Pertama :        Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua :           Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga :           Kami putra putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah Republik Indonesia sekarang adalah satu kesatuan tumpah darah (tanah kelahiran) yang disebut Tanah Air Indonesia.
Pernyataan yang kedua adalah pengakuan bahwa manusia-manusia yang menempati bumi Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia.
Pernyataan yang ketiga bukan merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.
Dengan demikian diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu yang sudah dipakai sejak pertengahan abad VII, sebagai bahasa Indonesia

C.   Mengapa Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Nasional Indonesia ?
Mengapa Bahasa Melayu Diangkat Menjadi Bahasa Nasional Indonesia ? Ada empat Faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut :
I..        Bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca (bahasa pengantar) di Indonesia, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan.


II.         Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa ini tidak dikenal dengan tingkat bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo) atau perbedaan bahasa kasar dan halus, ataupun seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes)
III.      Suku Jawa, suku Sunda, dan suku-suku yang lain di Indonesia dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
IV.             Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayan dalam arti yang luas.

D.   Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia

Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu ?
Untuk melihat sejauh mana kemungkinan bahasa Indonesia dapat diterima sebagai bahasa resmi PBB, berikut ini akan dipaparkan argumen yang melandasinya, baik dilihat dari aspek kesejarahan, linguistik, maupun luas penyebarannya. Dalam konteks itulah, perlu kiranya kita menengok ke belakang pada sejarah perkembangan bahasa Indonesia.
Salah satu hasil Kongres Bahasa Indonesia II, di Medan tahun 1954, adalah disepakatinya pembentukan suatu badan yang khusus menyusun peraturan ejaan bahasa Indonesia. Alasannya, bahwa Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik yang ditetapkan tahun 1947, perlu disederhanakan dan disempurnakan lagi. Badan tersebut baru terbentuk tahun 1956. Setahun kemudian, berhasil dirumuskan patokan-patokan baru Ejaan Bahasa Indonesia yang terkenal dengan nama Ejaan Pembaharuan.



Belum sempat ejaan ini diresmikan, Persekutuan Tanah Melayu, yakni Malaysia dan sekitarnya, mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna membentuk penyeragaman sistem ejaan kedua negara. Hasilnya adalah konsep Ejaan Melayu-Indonesia. Lalu terkenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Konsep ini pun, belum sempat diresmikan, lantaran kedua belah pihak terlibat konfrontasi.
Memasuki zaman Orde Baru, baik Indonesia maupun Malaysia menyadari bahwa sesungguhnya perselisihan antar-bangsa, terutama antar-negara bertetangga, tidaklah mendatangkan manfaat. Lalu, hubungan kedua negara pun dijalin kembali. Sebagai realisasi bentuk persahabatan itu, Ejaan Melindo yang pernah disepakati, dihidupkan kembali. Lahirlah  Ejaan Baru tahun 1966.
Entah bagaimana pasalnya, ejaan  yang terakhir ini pun tidak sempat diresmikan. Sementara itu, perkembangan bahasa Indonesia yang makin pesat, menuntut perlunya penyempurnaan ejaan dengan segera. Maka atas dasar berbagai pertimbangan, antara lain, perlunya penyesuaian ejaan Bahasa Indonesia dengan perkembangannya, ketertiban cara penulisan, usaha pembakuan Bahasa Indonesia secara menyeluruh, serta usaha pengembangannya, keluarlah Surat Keputusan Presiden Soeharto No 57 tentang peresmian berlakunya “Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan”.
Keputusan tersebut, tentulah tidak hanya atas pertimbangan segi kebahasaan semata-mata, melainkan juga ada sejumlah faktor lain yang tak dapat diabaikan. Dalam hubungannya dengan masalah itulah, kita akan melihat betapa tepat dan pentingnya pembakuan pedoman ejaan bahasa Indonesia yang sedang dalam proses pertumbuhannya. Lebih jauh lagi sebagai upaya untuk menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

E.  Faktor Kesejarahan
Dalam perjalanan bahasa Indonesia sampai sekarang, yakni sejak dicetuskan  pertama kali dalam butiran Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, pedoman ejaan Bahasa Indonesia secara resmi baru dua kali mengalami perubahan. Pertama, melalui Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, tanggal 19 Maret 1947, yang disusul dengan Surat Keputusan No 345/Bhg A, 15 April 1947.



Kedua, Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 7/U/1972, Mashuri, yang kemudian diresmikan pemakaiannya melalui Surat Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Sebelum Ejaan Soewandi, pedoman ejaan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen. Ejaan ini bersumber dari buku yang berjudul Kitab Logat Melajoe hasil penyusunan Charles Adriaan van Ophuijsen dibantu oleh Engkoe Nawawi Gelar Soetan Ma’moen dan Moehamad Ta’ib Soetan Ibrahim. Konsepnya sendiri sebenarnya dimulai tahun 1896, setahun sebelum AA Fokker mengusulkan penyeragaman ejaan Bahasa Melayu dengan huruf Latin. Namun baru diundangkan secara resmi oleh pemerintah Belanda tahun 1901.
Mengingat latar belakang diberlakukannya Ejaan van Ophuijsen, tindakan tersebut cukup punya arti penting bagi perjalanan Bahasa Melayu selanjutnya. Waktu itu, pengaruh Islam di wilayah Nusantara yang amat kuat, menyangkut juga soal bahasa. Masyarakat di Semenanjung Melayu dan sekitarnya, sudah terbiasa menggunakan huruf Arab-Melayu (huruf Jawi atau Pegon—bahasa Melayu dengan huruf Arab). Begitu juga di Pulau Jawa, bahasa daerah setempat banyak juga yang memakai huruf Pegon.
Di samping itu, jauh sebelum bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara, bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca bagi penduduk di kepualauan ini. Bahkan perhubungan dengan para pedagang asing seperti India, Arab, Cina, Portugis, dan Persia, juga menggunakan Bahasa Melayu. Dengan sendirinya, di beberapa daerah muncul dialek-dialek Melayu. Kosakata, ejaan, maupun struktur bahasa Melayu, jadi beragam.
Sungguhpun demikian, dialek Melayu Riau yang biasa digunakan oleh para sultan di kepulauan itu, tetap dianggap sebagai Bahasa Melayu Tinggi. Dengan kata lain, Bahasa Melayu yang dianggap standar  dan baku waktu itu adalah Bahasa Melayu dialek Riau. Dialek itulah yang kemudian dijadikan model bagi van Ophuijsen dan dua rekannya untuk menyusun pedoman ejaan Bahasa Melayu.
Maka sejak tahun 1901, perkembangan Bahasa Melayu harus berpatokan pada pedoman Ejaan van Ophuijsen, yang pada hakikatnya berlandaskan pada Bahasa Melayu dialek Riau. Semua kosakata yang berasal dari bahasa asing —Cina, Arab, India, Inggris, Portugis, dan Belanda— serta yang berasal dari daerah-daerah di kawasan Nusantara, harus disesuaikan dengan ejaan Bahasa Melayu.



Perkembangan yang amat menonjol ditandai dengan berdirinya Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat), 14 September 1908, kurang dari empat bulan setelah lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908. Buku-buku yang diterbitkan komisi ini diseleksi secara ketat. Tidak hanya isinya yang harus sejalan dengan garis politik kolonial Belanda, tetapi juga harus menggunakan Bahasa Melayu tinggi sesuai dengan Ejaan van Ophuijsen.
Pada tahun 1917, komisi ini berganti nama menjadi Kantor Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka). Penggantian nama ini, sama sekali tidak mengubah kebijaksanaan sebelumnya. Kaidah-kaidah kebahasaan tetap berpedoman pada Ejaan van Ophuijsen. Di balik itu, para pemuda terpelajar kita makin merasakan pentingnya mempunyai bahasa sendiri. Emosi kebangsaan mereka makin menggelora. Sampai puncaknya, pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda dari berbagai daerah membulat tekadnya, “Bertanah airyang satu —Indonesia, berbangsa yang satu— Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia.”
Ikrar para pemuda itu, pada awalnya bersifat politis, namun sesungguhnya dalam perkembangannya benar-benar telah mampu meleburkan persoalan suku, adat, ras, dan agama. Kepentingan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan dari kepentingan lainnya. Dengan demikian, tekad untuk mengusir penjajah, serta hasrat untuk membentuk negara kesatuan yang merdeka dan berdaulat, nyata sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.

F.  Melihat Kelemahan
Dalam persoalan bahasa, para pemuda terpelajar kita mulai melihat adanya beberapa kelemahan yang terdapat dalam Ejaan van Ophuijsen. Khususnya ketidakcocokan konsep gramatika Belanda dan Arab yang diterapkan dalam Bahasa Melayu. Fonem-fonem asing seperti ain, hamzah, ch, sj, oe, dl, dan ts, seringkali menimbulkan cara penulisan dan pembacaan yang keliru. Lantaran itulah, dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25—28 Juni 1938, diputuskan perlunya ejaan baru, di samping gagasan untuk menyempurnakan dan menyederhanakan Ejaan van Ophuijsen.
Ternyata, tindak lanjutnya baru dilakukan dua tahun setelah Bahasa Indonesia dinyatakan sebagai bahasa negara yang tertuang dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Mr Soewandi, 19 Maret dan 15 April 1947, mencanangkan penggantian Ejaan van Ophuijsen dengan Ejaan Republik.


Beberapa perubahan yang dilakukan, antara lain, digantinya fonem oe menjadi u, bunyi vokal e (E) dan e (e) diwakili oleh satu fonem e serta ucapan kata-kata asing atau pinjaman yang disesuaikan dengan cara pengucapan bahasa Indonesia. Namun, bentuk kata yang diulang masih dibolehkan memakai angka dua (2). Hal ini tentu saja dapat mengacaukan dengan kata ulang atau reduplikasi, seperti kupu-kupu, paru-paru, biri-biri, dan banyak lagi reduplikasi yang sebenarnya bukan merupakan kata yang diulang.
Sejumlah kelemahan yang terkandung dalam Ejaan Soewandi, dikecam cukup pedas oleh Prof Dr Prijono. Menurutnya, Ejaan Soewandi tidak lebih dari “pindah tulis” dan bentuk lain dari Ejaan van Ophuijsen. Lalu dalam Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 23 Oktober—2 November 1954, mulailah Ejaan Soewandi “ditinjau” kembali.
Setelah tersusun konsep Ejaan Pembaharuan atau yang dikenal juga dengan nama Ejaan Prijono—Katoppo, Persekutuan Tanah Melayu mengadakan kerja sama dengan Indonesia guna menyusun pedoman ejaan bagi kedua negara itu. Namun batal diresmikan karena terjadi konfrontasi. Baru kemudian dihidupkan kembali lewat pertemuan  di Kuala Lumpur 21—23 Juni 1967, dengan nama Ejaan Baru Bahasa Indonesia untuk Indonesia dan Ejaan Baru Bahasa Melayu untuk Malaysia.
Sebenarnya, konsep ejaan ini bertumpu pada konsep hasil penyusunan Panitia Crash Program Ejaan Bahasa Indonesia LBK, Agustus 1966. Panitia yang diketuai oleh Anton M Moeliono ini, mendasari konsepnya atas konsep Ejaan Pembaharuan tahun 1957, dan Ejaan Melindo tahun 1959, serta berpegang pada prinsip “satu fonem, satu tanda”.
Hambatan utama terlaksananya hasil rumusan panitia tersebut, sebenarnya lebih menyangkut soal pembiayaan daripada soal kebahasaan. Maka atas berbagai pertimbangan, rumusan itu mengalami beberapa perubahan lagi. Sampai kemudian, keluarlah keputusan yang memberlakukan Ejaan Yang Disempurnakan, 17 Agustus 1972.

G. Menuju Bahasa Dunia
Pada masa awal diberlakukannya EYD (Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan), reaksi timbul dari berbagai kalangan. Yang tidak setuju, umumnya melihat dari segi pembiayaan semata-mata. Sedangkan yang setuju, melihatnya jauh ke depan. Sesungguhnya,


Keputusan Presiden No 57 itu ibarat langkah yang tidak hanya hendak mengokohkan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, melainkan juga upaya mendudukkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN dan bahasa dunia.
Dalam lingkup ASEAN, tampaknya Filipina dan Muangthai saja yang mungkin masih merasakan beberapa hambatan. Sungguhpun demikian, berdasarkan unsur kekerabatan, korespondensi fonemis, faktor geografis, struktur gramatika, maupun unsur kebahasaan lainnya, bahasa Tagalog di Filipina dan bahasa Siam di Muangthai, mempunyai hubungan yang erat dengan Bahasa Melayu yang merupakan asal dan dasar Bahasa Indonesia. Begitu juga dengan Bahasa Cham di Kamboja.
Apabila kita membandingkan sejumlah kosa kata yang terdapat di negara-negara tersebut —seperti yang dilakukan Gorys Keraf dalam bukunya, Linguistik Historis Komparatif— kita akan mendapatkan bukti kuat, bahwa bahasa-bahasa di kawasan Asia Tenggara (rumpun bahasa Austronesia) sebenarnya masih satu keluarga bahasa yang sama. Kita tak perlu heran, jika orang Filipina berkata ku:lang (kurang), ilung (hidung), dan bu’guk (buruk). Pendeknya, bahasa Tagalog dengan Bahasa Melayu umumnya mempunyai bentuk dan bunyi yang mirip, bahkan sama.
Bukti lain dapat kita lihat dari hasil penelitian Dr H Kern tahun 1889. Ia membandingkan sejumlah kata dari 100 bahasa yang tersebar dari Malagasi sampai Amerika Selatan. Kesimpulannya, mustahil jika kesamaan bunyi dan bentuk dari nama-nama tumbuh-tumbuhan dan binatang yang terdapat di kawasannya, terjadi secara kebetulan. Artinya, dapat dilacak lebih jauh adanya hubungan kerabat dari satu nenek moyang atau protobahasa yang sama.
Jadi jelas, Bahasa Melayu bagi negara-negara ASEAN, sesungguhnya dapat pula mempererat hubungan antar-negara bertetangga ini. Malaysia, Singapura, dan Brunei, bahkan juga di Muangthai (khasnya Patani) dan Filipina (khasnya Mindanau), menyadari hal itu. Malaysia menempatkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan. Demikian juga Brunei Darussalam sejak tahun 1959 —sebagaimana yang dinyatakan Pangeran Badaruddin— “bahwa Bahasa Melayu adalah bahasa resmi dan mesti digunakan di dalam segala bidang.”
Bagi Indonesia, persoalan tentu tidak semata-mata menjadikan bahasa Melayu (baca: Indonesia) sebagai bahasa resmi ASEAN, tetapi juga sebagai bahasa resmi dunia, seperti juga bahasa Inggris atau Perancis.


Dan syarat-syarat untuk itu, memang sudah dimiliki Bahasa Indonesia. Antara lain, Bahasa Indonesia merupakan lingua franca bagi lebih dari 136 juta penduduk, bentuk dan strukturnya mudah dipelajari dan sederhana, bentuk tulisan dan ujaran tidak mengandung banyak perbedaan, menyerap secara bebas unsur dan istilah bahasa asing, mampu digunakan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, serta merupakan mata ajaran wajib di semua tingkatan sekolah.
Lebih dari itu, bahasa Indonesia juga sudah diajarkan di banyak perguruan tinggi negara-negara sahabat. Tokyo, Seoul, Beijing, Melbourne, Canberra, Cornel, Yale, Mokow, Paris, Praha, Leiden, Warsawa, Berlin, Mesir, dan banyak lagi universitas di luar negeri yang membuka jurusan tersendiri tentang bahasa dan kesusastraan Indonesia. Paling sedikit, memberikan mata ajaran Bahasa Indonesia. Ini merupakan satu indikasi, betapa Bahasa Indonesia sangat berpotensi untuk menjadi bahasa resmi internasional.
Melihat kenyataan tersebut, tidaklah sepatutnya jika masih ada suara sumbang yang meremehkan peran Bahasa Indonesia. Tidak patut pula jika kita tidak bangga pada bahasa sendiri. Dalam menyikapi perkembangan zaman dan arus globalisasi, peran bahasa Indonesia tentu berlainan dengan waktu pertama kali dicanangkan dalam ikrar Sumpah Pemuda. Jika dulu mampu berperan sebagai alat persatuan dan kesatuan bangsa, maka kini, mampukah ia mengangkat citra keagungan bangsa dan negara Indonesia di mata dunia. Oleh karena itu, gagasan untuk menempatkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa  dunia atau bahasa resmi PBB sesungguhnya lebih terterima dibandingkan dengan Bahasa Melayu. Semoga saja harapan ini menjadi kenyataan.

H.     Bahasa Nasional
Bahasa Indonesia harus mampu menjadi bahasa yang menasional. Artinya, bahasa Indonesia benar-benar dibutuhkan dan digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Meurauke. Bahasa Indonesia harus benar-benar menjadi alat komunikasi yang paling efektif dan digemari dalam konteks pergaulan antar suku bangsa di Indonesia.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia telah membuktikan dirinya sebagai bahasa pemersatu melalui Sumpah Pemuda. Para pemuda Indonesia pada waktu itu telah bersumpah untuk menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


I.     Bahasa Negara
Bahasa Indonesia harus benar-benar menjadi bahasa negara sesuai dengan yang tercantum pada Bab XV Pasal 36 UUD 1945, “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia”.
Di dalam forum-forum resmi, seperti pada acara kenegaraan, forum rapat, kegiatan belajar-mengajar, bahasa Indonesia mutlak digunakan secara baik dan benar. Hal ini tidak boleh ada toleransi bagi siapa pun.
Kita pernah merasa bangga ketika masa pemerintahan Orde Baru. Dalam setiap pidato kenegaraannya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, Presiden Soeharto tetap konsisten menggunakan bahasa Indonesia meskipun logat Jawanya masih terdengar kental.
Tidak mustahil jika suatu saat bahasa Indonesia akan menjadi bahasa Dunia jika setiap warga negara Indonesia bangga menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kegiatan.





















BAB IV
KESIMPULAN

            Jelaslah bahwa, sesuai dengan Sumpah Pemuda Tahun 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bab XV, Pasal 36), bahasa Indonesia berkedudukan (1) bahasa nasional dan (2) bahasa negara.
            Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) Lambang Kebanggaan Nasional, (2) Lambang Identitas Nasional, (3) Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang social budaya dan bahasanya ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan (4) Alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya.
            Di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) Bahasa Resmi Kenegaraan, (2) Bahasa Pengantar di Lembaga-Lembaga Pendidikan, (3) Alat Perhubungan pada Tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, dan (4) Alat pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
            Bukti yang dapat dijadikan acuan untuk meyakini bahasa Melayu ada sejak zaman penjajahan adalah ditemukanya prasasti-prasasti di berbagai daerah di Indonesia. Prasasti-prasasti itu diantaranya adalah sebagai berikut :
    1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang pada tahun 683.
    2. Prasasti Talang Tuo di Palembang pada tahun 684.
    3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat pada tahun 686.











BAB V
PENUTUP

            Demikian Makalah Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia, kami susun untuk lebih memahami arti sejarah dan lebih mengetahui asal mula bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang selanjutnya bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pemersatu bangsa yang kini kita ketahui sebagai bahasa nasional dan bahasa negara Indonesia.
            Semoga makalah ini dapat menjadi inspirasi dan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya AMIN.


Cianjur, Septembar 2008




















19
DAFTAR PUSTAKA

            Alisjahbana, S. Takdir. 1957. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Indonesia. Jakarta: Pustaka Rakyat.

            Halim, Amran. 1971. Multilingualism in Relation to the Development of Bahasa Indonesia. RELC JUORNAL, Desember1971:4-19.
           
Lembaga Bahasa Nasional. 1974. Politik Bahasa Nasional: Laporan Praseminar29-31 Oktober 1974. Jakarta

            Arifin, E. Zaenal & Tasai, S. Amran. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

            Rice Frank A, 1962. Study of  the Role of Second Languages in Asia, Afrika, and Latin America. Washington, D.C.: Center for Applied Linguistics, Modern Language Association of America.


















1 komentar

Unknown 17 Februari 2015 pukul 04.55

nice post, thanks for sharing....
Alat Bantu Sex
Alat Bantu Pria
Alat Bantu Wanita

Posting Komentar