NOMOR 23 TAHUN 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
|
:
|
a.
|
bahwa setiap warga Negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan
falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun
1945;
|
b.
|
bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi
manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi
yang harus dihapus;
|
||
c.
|
bahwa korban kekerasan dalam rumah
tangga, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari
negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan;
|
||
d.
|
bahwa dalam kenyataannya kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah
tangga;
|
||
e.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu
dibentuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
|
||
Mengingat
|
:
|
Pasal 21, Pasal 21, Pasal 28A,
Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G,
Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
|
Menetapkan
|
:
|
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA.
|
1.
|
Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
|
2.
|
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga, memindahkan pelaku kekerasan dalam rumah
tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
|
3.
|
Korban adalah orang yang mengalami
kekerasan dan/atau ancaman dalam lingkup rumah tangga.
|
4.
|
Perlindungan adalah segala upaya
yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh
pihak keluarga, advokat, lembaga, sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
atau pihak lainnya baik secara sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
|
5.
|
Perlindungan Sementara adalah
perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial
atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
|
6.
|
Perintah Perlindungan adalah
penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan untuk memberikan perlindungan
kepada korban.
|
7.
|
Menteri adalah menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberdayaan perempuan.
|
(1)
|
Lingkup rumah tangga dalam
Undang-Undang ini meliputi :
|
|
|
a.
|
suami, isteri, dan anak;
|
|
b.
|
orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena
hubungan darah, perkawinann, pesusunan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan atau
|
|
c.
|
orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
|
(2)
|
Orang yang bekerja sebagaimana
dimaksud pada huruf c dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
|
Kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi :
|
|
a.
|
pemaksaan hubungan seksual yang
dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut;
|
b.
|
pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
|
(1)
|
Setiap orang dilarang
menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atua pemeliharaan kepada orang tersebut.
|
(2)
|
Penelantaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja
yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang
tersebut.
|
Korban berhak mendapatkan :
|
|
a.
|
perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak
lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan;
|
b.
|
pelayanan kesehatan sesuai dengan
kerahasiaan korban;
|
c.
|
penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban;
|
d.
|
pendampingan oleh pekerja sosial
dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
e.
|
pelayanan bimbingan rohani.
|
(1)
|
Untuk melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Pemerintah :
|
|
|
a.
|
merumuskan kebijakan tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
|
|
b.
|
menyelenggarakan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
|
.
|
c.
|
menyelenggarakan sosialisasi dan
advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga, dan
|
|
d.
|
menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sesitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta
menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sesitif gender.
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
|
|
(3)
|
Menteri dapat melakukan koordinasi
dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
|
a.
|
penyediaan ruang pelayanan khusus
di kantor kepolisian;
|
b.
|
penyediaan aparat, tenaga
kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
|
c.
|
pembuatan dan pengembangan sistem
dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan dan pihak yang
mudah diakses oleh korban; dan
|
d.
|
memberikan pewrlindungan bagi
pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.
|
(1)
|
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan
dalam rumah tangga, Kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara
pada korban.
|
(2)
|
Perlindungan sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban
diterima atau ditangani.
|
(3)
|
Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua
puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagai mana dimaksud
pada ayat (1), Kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan.
|
(1)
|
Dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus :
|
|
|
a
|
memberikan kesehatan korban sesuai
dengan standar profesinya;
|
|
b.
|
membuat laporan tertulis hasil
pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama
sebagai alat bukti.
|
(2)
|
|
pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat.
|
(1)
|
Dalam memberikan pelayanan,
pekerjaan sosial harus:
|
|
|
a.
|
melakukan konseling untuk
menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban;
|
|
b.
|
memberikan informasi mengenai
hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan menetapkan
perintah dari pengadilan;
|
|
c.
|
mengantarkan korban kerumah aman
atau tempat tinggal alternatif; dan
|
|
d.
|
melakukan koordinasi yang terpadu
dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial,
lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
|
(2)
|
Pelayanan pekerja sosial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah aman milik pemerintah,
pemerintah daerah, atau masyarakat.
|
Dalam memberikan pelayanan,
relawan pendamping dapat :
|
|
a.
|
menginformasikan kepada korban
akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping;
|
b.
|
mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntunan atau tingkat pemeriksaan pengadilan dengan pembimbing
korban untuk secara obyektif dan lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah
tangga yang dialaminya;
|
c.
|
mendengarkan secara empati segala
penuturan korban sehingga korban merasa aman didampingi oleh pendamping; dan
|
d.
|
memberikan dengan aktif penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
|
Dalam hal memberikan perlindungan
dan pelayanan, advokat wajib :
|
|
a.
|
memberikan konsultasi hukum yang
mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
|
b.
|
mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntuan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu
korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya; atau
|
c.
|
melakukan koordinasi dengan sesama
penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan
berjalan sebagaimana mestinya.
|
(1)
|
Korban berhak melaporkan secara
langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik ditempat korban
berada maupun ditempat kejadian perkara.
|
(2)
|
Korban dapat memberikan kuasa
kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga
kepada pihak kepolisian baik di tyempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
|
(1)
|
Permohonan perintah perlindungan
disampaikan daqlam bentuk lisan atau tulisan.
|
(2)
|
Dalam hal permohonan diajukan
secara lisan, panitera pengadilan negeri setempat wajib mencatat permohonan
tersebut.
|
(3)
|
Dalam hal permohonan perintah
perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan
|
(4)
|
Dalam keadaan tertentu, permohonan
dapat diajukan tanpa persetujuan korban.
|
(1)
|
Atas permohonan korban atau
kuasanya, pengadilan dapat mempertimbangkan untuk:
|
|
|
a.
|
menetapkan suatu kondisi khusus;
|
|
b.
|
mengubah atau membatalkan suatu
kondisi khusus dari perintah perlindungan.
|
(2)
|
Pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diajukan bersama-sama dengan proses pengajuan perkara
dalam rumah tangga.
|
(1)
|
Perintah perlindungan dapat
diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun.
|
(2)
|
Perintah perlindungan dapat di
perpanjang atas penetapan pengadilan
|
(3)
|
Permohonan perpanjangan Perintah
Perlindungan diajukan 7 (tujuh) hari sebelum berakhir masa berlakunya.
|
(1)
|
Pengadilan dapat menyatakan satu
atau lebih tambahan perintah perlindungan.
|
(2)
|
Dalam pemberian tambahan perintah
perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan dari korban,
tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing
rohani.
|
(1)
|
Berdasarkan pertimbangkan nahaya
yang mungkin timbul, pengadilan dapat menyatakan satu atau lebih tambahan
kondisi dalam perintah perlindungan
|
(2)
|
Dalam pemberian tambahan kondisi
dalam perintah perlindungan, pengadilan wajib mempertimbangkan keterangan
dari korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembimbing rohani.
|
(1)
|
Kepolisian dapat menangkap untuk
selanjutnya melakukan penahan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang
diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut
tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas.
|
(2)
|
Penangkapan dan penahan
sebagaimana di maksud pada ayat (1) wajib diberikan surat perintah
penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 (satu kali dua puluh empat ) jam.
|
(3)
|
Penangguhan penahanan tidak
berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)
|
(1)
|
Untuk memberikan perlindungan
kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang
cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
|
(2)
|
Penangkapan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai sutat perintah
penahanan dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh emapt ) jam.
|
(1)
|
Korban, kepolisian atau relawan
pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan
pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
|
(2)
|
Dalam hal pengadilan mendapatkan
laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku diperintahkan
menghadap dalam waktu 3 x 24 ( tiga kali dua puluh empat) jam guna dilakukan
pemeriksaan.
|
(3)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh pengadilan di tempat pelaku pernah tinggal
bersama korban pada waktu pelanggaran diduga terjadi.
|
(1)
|
Apabila pengadilan mengetahui
bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan
pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk
membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan.
|
(2)
|
Apabila pelaku tetap tidak
mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 hari.
|
(3)
|
Penahanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disertai dengan surat perintah penahanan.
|
(1)
|
Tenaga kesehatan wajib memeriksa
korban sesuai dengan standar profesinya
|
(2)
|
Dalam hal korban memerlukan
perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban.
|
(1)
|
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)
|
(2)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapatkan jatuh sakit atau luka
berat, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak
Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).
|
(3)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan panyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau dendan paling banyak Rp. 45.000.000,-
(empat puluh lima juta rupiah)
|
(4)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
(lima juta) rupiah.
|
(1)
|
Setiap orang yang melakukan
perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp. 9.000.000,- (sembilan juta rupiah )
|
(2)
|
Dalam hal perbuatan sebagaimna
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya
yang tidak menimbulkan atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,- (tiga
juta rupiah).
|
a.
|
menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
|
b.
|
menelantarkan orang lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
|
a.
|
pembatasan gerak pelaku baik yang
bertujuan untuk menjatuhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu
tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
|
b.
|
penetapan pelaku mengikuti program
konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu.
|
|
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 September 2004
|
|
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
|
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 22 September 2004
|
|
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG
KESOWO
|
|